Alarm
berdering terus menerus, aku terbangun dari tidur lalu melamun ke arah jendela
dengan gorden berwarna ungu, ya warna favoritku. Tak tahu asal-usul bagaimana
aku menyukai warna itu. Aku ingin memiliki semua benda berwarna ungu. Kulihat
pemandangan diluar sana, banyak burung berkicau dan udara begitu sejuk. Aku
kembali.merebahkan diri sejenak ke kasur berwarna ungu dengan motif polkadot.
Aku berfikir, mengapa teman-teman hanya datang kepadaku saat mereka butuh? Mengapa mereka tidak
terlalu memperdulikanku? Disitulah aku mulai rindu dengan sahabatku yang sudah
tiada, Oliv. Aku benar-benar menyayanginya, bahkan melebihi orangtuaku. Karena
ia adalah satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Aku merasa cocok
dengannya. Ia bisa menjadi sosok ibu, kakak, sahabat, bahkan adik bagiku. Tak
hanya itu, Oliv juga memiliki beberapa kesamaan denganku. Yang sangat aku
sesali sekarang mengenai kematiannya beberapa hari yang lalu. 27 September,
hari itu adalah ulangtahun Oliv yang ke-17. Aku sudah menyiapkan berbagai kejutan
untuknya. Saat pukul sebelas malam, aku menelfon nya. Tanpa memikirkan
akibatnya, aku menyuruh ia untuk pergi ke taman dekat rumahnya. Karena aku
lelah, aku menutup mataku sebentar.
“Kring…kring...kring”
terdengar suara dering telfon dari hpku, aku langsung kaget saat melihat jam
ternyata sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Aku menjawab panggilan dari nomor
yang tak ku kenal itu. Setelah mendengar informasi dari si penelfon, aku
langsung shock dan menangis sejadi-jadinya. Tanpa berfikir panjang, aku
bergegas mengendarai motor dengan kecepatan 120km/jam.
~
Sesampainya
dirumah sakit, aku langsung mencari ruang paviliunn no.27. Kubuka pintu kamar
itu dan langsung memeluk Oliv yang lemah tak berdaya diatas kasur.
“Oliv..
kamu tidak apa-apa? Bangun liv.. bangun.. jangan tinggalin aku” “Ha..ha..pp..py
Bi…bi..rth.. day, happy sweet seventeen liv” isak ku dengan memberikan seikat
bunga dan kotak kado
“Terimakasih
han, jika nyawaku sudah tidak bisa diselamatkan, aku mohon kamu jangan sedih
terus. Banyak lho yang sayang sama kamu didunia ini” ucap Oliv pelan sambil
tersenyum
“Nggak
liv! Cuma kamu yang bisa ngerti gimana aku! Ini semua salahku! Maafin aku liv,
aku mohon maafkan aku…kamu kuat! Kamu pasti bisa selamat liv! Liv.. maafkan
aku”
“Hana..
aku gak bilang kalau ini salahmu, aku mohon untuk hari selanjutnya jika kamu
ingin berbuat sesuatu pikirkan dulu secara matang. Tolong jangan teledor. Aku
yakin, pasti banyak yang sayang sama kamu. Kamu itu humoris dan aktif, gak ada
yang gak mau berteman sama kamu kok”
“Nggak
liv! Mereka semua hanya memperbudak aku! Gak ada lagi teman yang cocok selain
kamu. Maafin aku..maafin aku liv..”
“Semoga
kamu mendapat sahabat yang lebih dari aku, kamu bisa mendapatkan seseorang yang
kamu sayangi, kamu bisa menjadi penulis terkenal, kamu bisa kuliah dan meraih
impianmu ke Jepang. Aku selalu mendo’akan mu disana han. Aku sayang kamu hana.
Be a good girl from now hana. Jangan lupakan aku”
Kepalaku
tertunduk, menggengam tangan Oliv yang mulai lemas, dingin, dan pucat. Air
mataku menetes diatas tangannya yang penuh dengan selang infus. Beberapa menit
kemudia ia menghembuskan nafas terakhir di hari ulangtahunnya. “Innalillahi wa
innailaihi raji’un..”
Aku
tak kuat menahan tangisku, aku langsung memeluk tubuh Oliv yang lemas tak
berdaya itu. Begitupula kedua orangtua nya. Tante rina menceritakan kepadaku
mengenai kejadian dini hari tadi bahwa ada pencuri yang masuk ke dalam
perumahan, entah bagaimana dua pencuri bertopeng itu bisa masuk. Lalu Oliv
melihat pencuri itu masuk ke gerbang rumahnya, dengan sergap Oliv memukul
pencuri itu dengan kayu yang digenggamnya. Pencuri itu tak putus asa dan
langsung menusukkan pisau yang ia pegang ke perut Oliv.
~
3tahun
berlalu setelah perginya Oliv…
Aku
menulis cerpen di perpustakaan kampus sembari mendengarkan lagu menggunakan earphone. Saat ini, aku sudah menjadi
mahasiswi semester 1 universitas Padjajaran Bandung fakultas Ilmu Budaya
jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
“Permisi,
apakah anda bernama Hana? Pak Herman ingin berbicara denganmu, silahkan datang
ke ruangan nya” ucap salah seorang siswi yang tak ku kenal
“Oh..baiklah
aku akan segera kesana”
Aku
langsung menuju ruangan pak Herman, dosen Sastra Jepang. Saat kubuka pintunya,
terlihat wajah pak Herman dan seorang lelaki yang tak kukenal. Sepertinya ia
adalah mahasiswa semester 2 entah dari fakultas mana. Setelah berbincang selama
kurang lebih 2 jam. Aku keluar dari ruangan itu dengan wajah gembira.
“aku
akan belajar ke Jepang!!! Alhamdulillah yaAllah..terimakasih engkau telah
mengabulkan keinginan ku selama ini” aku menangis gembira tanda bersyukur.
Seminggu lagi aku akan berangkat kesana bersama kak Rendi, mahasiswa semester 2
jurusan sastra Jepang.
~
Sudah
kusiapkan dua koper dan satu tas ransel. Kutatap gambar Negeri Sakura yang
terpajang di atas meja belajarku. Akhirnya sebentar lagi harapan itu akan
terwujud. Aku menuruni anak tangga. Satu demi satu kuucapkan selamat tinggal
kepada anak tangga tersebut. Aku akan meninggalkan orangtua, rumah ini, kota
ini, Negara ini selama dua tahun untuk menggapai cita-citaku. Tak lupa aku
berpamitan kepada keluarga dan kedua orangtua ku.
“Hai
han, sudah siap semua?” tanpa sepengetahuan ku, tiba-tiba kak Rendi muncul di
depan rumah. “Aku disuruh menjemputmu, ayo kita langsung ke bandara” ujar kak
Rendi. Aku menjawabnya dengan anggukan.
~
Saat
dipesawat aku hanya bisa diam, aku belum terlalu mengenal sosok kak Rendi. Jadi
kuputuskan untuk tidur saja. Saat bangun, tanganku terasa hangat. Kubuka mata
dan.. apa yang kulihat? Kak Rendi menggenggam tanganku! Bagaimana ini? Apa yang
harus kulakukan? Akhirnya aku menunggu sampai kak Rendi terbangun dari
tidurnya. Beberapa menit kemudian ia terbangun. Tetap tak melepaskan
genggamannya dari tanganku ia berkata “Suki
dayo” Aku kaget dan diam seribu bahasa. Apa-apaan ini? Apakah aku bermimpi?
Aku tak bisa menjawab, hanya bisa memberikan senyuman hangat kepadanya.
Sesampainya
dibandara Narita, Tokyo, Jepang aku benar-benar bahagia. Kurentangkan kedua tanganku
lalu berteriak “Konnichiwa Tokyo!!!!” Kak
Rendi yang ada dibelakangku hanya tersenyum. Ia sudah pernah ke Jepang beberapa
tahun lalu. Enam bulan berlalu, aku dan kak Rendi semakin dekat. Aku merasa
nyaman saat bersamanya. Musim semi pun tiba. Kak Rendi mengajak ku berhanami di Taman, disitulah ia menyatakan
hal yang serupa seperti saat di pesawat. “suki
dayo” yang artinya ialah “aku menyukaimu”. Jujur, aku juga telah menyimpan
rasa kepadanya saat melihat senyum nya yang bak pangeran dan juga sikap kepeduliannya.
Aku jadi teringat dengan perkataan Oliv. Aku bergumam dalam hati, “Lihatlah
liv! Aku telah bersama orang yang aku sayangi, aku telah menulis beberapa novel
dan cerpen, bahkan aku mempunyai paruh waktu sebagai mangaka (komikus jepang) aku
bisa meraih impian ku di Jepang! namun hanya satu, aku belum bisa mendapatkan
kembali sahabat terbaik sepertimu. Aku jadi teringat keinginan kita berdua
untuk belajar di Negara ini. Terimakasih sudah menjadi penyemangat bagiku!”
By:
Nisfina Harani N
0 komentar:
Posting Komentar